top of page

Neoliberalisme dan Kerusakan Lingkungan


Severn Suzuki, seorang bocah yang berbicara untuk ECO (the Environmental Children’s Organization/ Organisasi Lingkungan Anak-anak) dalam Konvensi Puncak Bumi di Rio de Jenairo 1992 mengungkapkan keprihatinannya terhadap krisis ekologi. Dalam pidatonya dia mengatakan: “…Saya di sini berbicara mewakili binatang yang tak terhitung jumlahnya di seluruh planet ini yang sekarat karena tidak ada tempat untuk mereka. Saya merasa takut untuk berjemur di bawah matahari karena ada lubang ozon. Saya takut menghirup udara karena tidak tahu lagi ada bahan kimia apa di sana. Setiap hari, saya mendengar hewan dan tumbuhan yang punah dan hilang selamanya. Anda tidak tahu cara bagaimana memperbaiki lubang pada lapisan ozon, tidak tahu bagaimana cara mengembalikan binatang yang telah punah, anda tidak bisa mengembalikan hutan belantara yang sudah menjadi gurun. Jika anda tidak bisa memperbaikinya, berhentilah merusaknya.”


Konteks pendengar dari pidato Severn Suzuki adalah kepala-kepala pemerintah dan para pelaku bisnis yang mewakili perusahaan-perusahaan multinasional, dan perwakilan dari lembaga-lembaga keuangan intenasional, seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO yang nota bene adalah pendukung utama agenda ekonomi neoliberal. Para pendukung neoliberalisme berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan adalah jaminan menuju keselamatan manusia. Untuk mencapai tujuan ini, pasar harus bebas, semua keputusan ekonomi diserahkan kepada kekuatan-kekuatan pasar tanpa intervensi negara.


Sistem ekonomi neoliberal sebetulnya merupakan sebuah sistem ekonomi yang berorientasi perusahaan, dalam arti ekonomi neoliberal ini dieksekusi oleh perusahaan-perusahaan. Hal ini bisa berterima, karena neoliberalisme dirancang oleh perusahaan. Sejak kelahirannya pada tahun 1980, kehadiran dan peranan perusahaan dalam sistem ekonomi ini telah sangat dominan. Kita tahu bahwa neoliberalisme yang dirancang dengan kekuatan perusahaan dan yang kemudian dieksekusi juga oleh perusahaan membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup. Krisis ekologi yang menghantam dunia secara global tidak bisa dipisahkan dari sepak terjang bisnis perusahaan yang menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal.


Dampak negatif neoliberalisme terhadap lingkungan hidup selalu dijelaskan dalam konteks sepak terjang bisnis perusahaan yang beroperasi di berbagai negara di belahan dunia. Untuk konteks Indonesia, misalnya, sepak terjang bisnis perusahaan yang nota bene menerapkan ekonomi neolibaral berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. Analisis Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada tahun 2012 menemukan bahwa aktor utama perusak lingkungan hidup tertinggi adalah perusahaan.


Pada umunya perusahaan-perusahaan tidak memiliki pertimbangan ekologis dalam menjalankan bisnis-bisnisnya. Yang paling penting bagi mereka adalah bisnis mereka memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, perusahaan merasa tidak berkepentingan dalam pembangunan lingkungan. Operasi bisnis perusahaan pertambangan emas dan tembaga, PT. Freeport di Papua misalnya, sama sekali tidak memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan. Operasi perusahaan ini di hutan Erstberg telah merusak ribuan hektar hutan, mematikan beragam jenis hewan yang berhabitatkan hutan, menimbulkan pencemaran air dan menghilangkan sumber air bagi sungai Wanagon.


Hal serupa kita lihat di Kalimantan dan Sumatera. Tindakan koboi ratusan perusahaan kelapa sawit dan industri kertas di kedua wilayah itu telah membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup. Untuk meningkatkan efisiensi, kerapkali perusahaan membakar hutan dan lahan sebagai cara untuk membersihkan lahan yang kemudian ditanami kelapa sawit. Lebih dari dua juta hutan dan lahan gambut telah terbakar dan diduga menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar bagi perubahan iklim global. Asap yang ditimbulkan dari pembakaran hutan oleh perusahaan juga berdampak negatif bagi kesehatan manusia.



Penguatan Masyarakat Sipil: Solusi Alternatif


Pasca forum internasional yang diadakan di Brazil pada tahun 1992, dan juga beberapa forum internasional tentang lingkungan hidup beberapa dekade terakhir ini, tidak banyak perubahan yang terjadi. Kerusakan lingkungan hidup justru semakin marak terjadi. Para peserta forum sama sekali tidak berkomitmen untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang diputuskan dalam forum. Hal ini bisa berterima karena peserta forum sedikit banyak adalah para pendukung ekonomi neoliberal. Lagi pula, di belakang mereka ada kekuatan lain yang lebih dasyat, yaitu perusahaan-perusahaan. Jauh sebelum forum dilaksanakan, perusahaan-perusahaan sudah berhasil melobi pemerintahan negara-negara tertentu dan lembaga-lembaga internasional agar setiap pasal yang mengatur bisnis perusahaan harus didepak.


Menggantungkan harapan kepada mereka yang tidak berkepentingan dengan pembangunan lingkungan ibarat membuang garam ke laut. Hukum-hukum yang diciptakan oleh lembaga-lembaga ini sedikit banyak melindungi bisnis perusahaan dan bertujuan agar neoliberalisme semakin menguat. Dengan demikian, hukum diinstrumentalisasi oleh pasar. Apalagi negara seringkali bertindak sebagai komprador perusahaan untuk merusak lingkungan. Bisa jadi kemarahan pemerintahan Indonesia beberapa waktu lalu terhadap Eropa karena Eropa menuduh sawit Indonesia berperan penting dalam merusak lingkungan merupakan sebuah bentuk perlindungan negara terhadap bisnis ratusan perusahaan sawit di Indonesia. Ketika hukum didistorsi oleh kekuatan modal, maka ia kehilangan daya tawar untuk membendung dinamika destruktif sistem ekonomi. Hal ini berseberangan dengan apa yang diharapkan oleh Habermas, bahwa hukum yang legitim juga dipakai untuk membendung dinamika destruktif sistem ekonomi demi imperatif dunia-kehidupan (lebenswelt).


Ketika lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga internasional serta produk-produk hukum mereka tidak lagi dipercaya dapat membendung arus kekuatan ekonomi neoliberal yang diesksekusi oleh perusaaan, maka pada titik inilah kita harus mencari solusi alternatif. Solusi alternatif itu adalah masyarakat sipil. John Madeley dalam bukunya yang berjudul ”Big Bisnis Poor Peoples” mengatakan bahwa masyarakat sipil merupakan faktor penting dalam setiap rencana perusahaan dan dapat memainkan peran sentral dalam mengacaukan bisnis perusahaan. Ketika jutaan warga masyarakat, misalnya, memutuskan untuk berhenti membeli produk-produk perusahaan atau meninggalkan konsumerisme, maka mau tidak mau perusahaan harus meresponnya. Contoh sederhana, ketika masyarakat menghentikan kebiasaan membeli air mineral dalam kemasan yang dijual di minimarket untuk memenuhi kebutuhan setiap hari, maka perusahaan air akan kehilangan uang sampai miliaran rupiah.


Selain itu, masyarakat sipil (LSM, tokoh agama, media, mahasiswa, masyarakat kecil, dan para aktivis lingkungan) harus melancarkan kampanye untuk memprotes aktivitas bisnis perusahaan yang merusak lingkungan hidup. Hemat saya, kekuatan kolektif masyarakat sipil menjadi bahan pertimbangan perusahaan dan lembaga penting lainnya untuk secara hati-hati menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal yang di mata masyarakat sipil menjadi sumber malapetaka bagi lingkungan hidup. Kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hannah Arendt bukan berada di balik meja para penguasa dan pegusaha, melainkan berada dalam masyarakat itu sendiri, ketika masyarakat bertindak. Masa depan bumi, dengan demikian, bukan berada di tangan penguasa dan pengusaha, melainkan berada di tangan masyarakat ketika masyarakat bertindak. ***


*Bekerja di VIVAT Indonesia-Jakarta, alumnus STFK Ledalero

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page